Sunday 23 October 2011

Mengelola  Konflik


elama  dalam  sebuah  organisasi  ada perbedaan  kepentingan, lebih – lebih kepentingan  pribadi  atau  sekelompok  kecil  yang  sarat  dengan  intrik,  maka  selama  itu  pula  konflik  tak  bisa  dihindari.  Makin  banyak  pihak  yang  memiliki  kepentingan,  maka  akan  semakin  luas  pula  kemungkinan  pihak  yang  terlibat  dalam  dinamika  konflik.

Kehadiran  konflik  itu  sesungguhnya  sangat  alami  bahkan  manusiawi.  Jangankan  dalam  sebuah  komunitas  yang  bernama  PGRI/ GUGUS/ Satuan Kerja atau  Organisasi  apapun  yang  kita miliki,  dalam  kehidupan  pribadi  sekalipun  banyak  muncul  yang  namanya  konflik,  setidaknya  konflik  antara  dorongan  nafsu  dengan  suara  hati (nurani);  antara  yang  dipikirkan  dan  dirasakan.

Hanya  yang  perlu  diingat  bahwa  yang  namanya  konflik  tidak  selamanya  dimaknai  permusuhan,  karena  dalam  kajian  sosiologis  konflik  bisa  bermakna  kompetisi,  tegangan (tension) atau  ketidaksepahaman.  Karena  itu  pula,  kehadiran  konflik  tidak  selamanya  harus  dimaknai  sebagai  sebuah  kekuatan  yang  menghancurkan  (destructif force),  karena  dalam  banyak  hal  konflik  juga  bernilai  positif  bahkan  konstruktif.  Dengan  adanya  konflik  maka  dinamika  lahir, dengan  adanya  konflik  maka  kreativitas  muncul.                                          Konflik adalah penggerak sejarah sekaligus sumber perubahan dan karena  konflik  akan         besar  sumbangannya  dalam  mencegah  kebekuan  sosial “ (George Mills,1956).

Namun  sayang,  konflik  yang  kita  kenal  selama  ini  sering  berubah  menjadi  disfungsional  karena  sering  mengarah  kepada  tindakan  kaotik, destruktif  bahkan  anarkhis  seperti  yang  sering  kita  baca, kita  dengar  dan  kita  lihat  melalui  media  massa.  Di sinilah  perlu  adanya  kecakapan  para  pemimpin  dimana  saja  memimpin   bahkan  bagi  calon  pemimpin  Organisasi apabila  konflik  dikelola  dengan  baik  akan  menjadi  salah  satu  kunci  keberhasilan  bagi  dirinya  dan  sekaligus  untuk  orang  lain.
Memanej  konflik  bukan  berarti  harus  menghindari  konflik  apalagi  mengubur  dalam-dalam  yang  berarti  anti  konflik.  Namun  sebaliknya   memanej  konflik  tidak  berarti  harus  membiarkan  apalagi  menumbuhsuburkan  konflik.  Tetapi  memanej  konflik  di sini,  kita  harus  cerdas  dalam  memahami  dan  cakap  mengelolanya.

Memahami  berarti  mengetahui, menyadari  bahkan  mengakui  dan  menyetujui  adanya  perbedaan ( agree in disagreement )  tanpa  harus  saling  membenci  apalagi  saling  memusuhi.  Dalam  setiap  komunitas  apapun  kita  perlu  membangun  semangat  pluralisme, yakni  semangat  untuk  saling  menghargai  dan  menghormati  perbedaan  atau  keragaman.  Memahami  dapat  berarti  juga  memiliki   sikap  rela  menerima  perbedaan  sebagai  sebuah  kenyataan.  Wujudnya  agar  semua  pihak  yang  memiliki  perbedaan  kepentingan  harus  bersedia  untuk  saling  mendengar,  dan  saling  memahami  satu  yang  lainnya.  Disini  sangat  penting  membangun  kecerdasan  emosi  bagi  para  pemimpin  untuk  mengelola  sebuah  Organisasi/ institusi  dimanapun  berada. 

Alasan  membangun  kecerdasan  emosi  pada  dasarnya  bahwa  sering  terjadi  kekisruhan        ( konflik ) antara  pemimpin  dan  yang  dipimpin  atau  antara  pengurus  dengan  anggota  atau   antar  pengurus  dan  antar  anggota  itu  sendiri.
Kecerdasan emosi tidak lebih dari kemampuan seseorang untuk menguasai dan mengendalikan emosi dirinya dan emosi orang lain, kecakapan mengelola diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain   ( Daniel Goleman, 1995 )    

Dengan  kecerdasan  ini  kita  akan  selalu  menerima  orang  lain  apa  adanya,  dan  bahkan  dapat  membantu  orang  lain  sesuai  dengan  karakter  yang  dimilikinya.
Kecerdasan  emosi  setidaknya  mensyaratkan  adanya  kecakapan  pribadi  dan  kecakapan  sosial.  Pertama,  kecakapan  pribadi  yaitu  kemampuan  seseorang  untuk  mengenal  dan  mengolah  emosi  dirinya  sendiri.  Kedua,  kecakapan  sosial  yaitu  kemampuan  seseorang  untuk  melakukan  empati  dan  mengelolanya  dalam  berhubungan  dengan  orang  lain.   Hal  itu  sebabnya  pemimpin  yang  memiliki  kecerdasan  emosi  cenderung  akan  banyak  dihargai  dan  dihormati,  karena  ia  pun  selalu  hormat  dan  mau  mengahargai  orang  lain.

Kepemimpinan  seseorang  yang  memiliki  kecerdasan  emosi,  akan  nyaris  tak  terdengar punya  musuh,  karena  ia  selalu  memegang  kaidah : membujuk  kawan  sebanyak  mungkin  sambil  mengajak  lawan  menjadi  kawan.  Itulah  agenda  yang  perlu  diperhatikan  baik  oleh  seseorang  yang  telah  menjadi  pemimpin  maupun  oleh  kita  sebagai  calon  pemimpin  dimana  saja  kita  akan  memimpin.
Memang  tidak  mudah  untuk  bisa  mengelola  konflik  dengan  baik,  walaupun  dalam  sebuah  organisasi/ institusi  sekecil  apapun  karena  kita  dihadapkan  kepada  berbagai  ragam  karakter,  berbagai  ragam  keinginan  yang  tentu  dengan  kepentingan  yang  berbeda  pula.

Dengan  demikian  konflik  sebagai  salah  satu  kekuatan  yang  fungsional,  melalui  dialog   yang  dilandasi  dengan  semangat  pluralisme, untuk  menjadikan  konflik  sebagai  salah  satu  kekuatan  mesin  penggerak  sekaligus  sumber  perubahan  dan  pencerahan  menuju  tujuan  yang  dicita-citakan…          Amin…


Sukaluyu,  18  Oktober  2011
Disarikan oleh  :
Agung Suprianto         -      Kepala SDN Selajambe 03
-          Penasihat Cabang PGRI Kec. Sukaluyu
-          Ketua K3SD Kec. Sukaluyu

Sumber  :
Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial, 2003
Millah, Saeful. Kecerdasan emosi untuk mengelola Konflik, 2011
Surya, Moh. Psikologi Pendidikan, 1987
 

No comments:

Post a Comment