Mengelola Konflik
Kehadiran konflik itu sesungguhnya sangat alami bahkan manusiawi. Jangankan dalam sebuah komunitas yang bernama PGRI/ GUGUS/ Satuan Kerja atau Organisasi apapun yang kita miliki, dalam kehidupan pribadi sekalipun banyak muncul yang namanya konflik, setidaknya konflik antara dorongan nafsu dengan suara hati (nurani); antara yang dipikirkan dan dirasakan.
Hanya yang perlu diingat bahwa yang namanya konflik tidak selamanya dimaknai permusuhan, karena dalam kajian sosiologis konflik bisa bermakna kompetisi, tegangan (tension) atau ketidaksepahaman. Karena itu pula, kehadiran konflik tidak selamanya harus dimaknai sebagai sebuah kekuatan yang menghancurkan (destructif force), karena dalam banyak hal konflik juga bernilai positif bahkan konstruktif. Dengan adanya konflik maka dinamika lahir, dengan adanya konflik maka kreativitas muncul. “ Konflik adalah penggerak sejarah sekaligus sumber perubahan dan karena konflik akan besar sumbangannya dalam mencegah kebekuan sosial “ (George Mills,1956).
Namun sayang, konflik yang kita kenal selama ini sering berubah menjadi disfungsional karena sering mengarah kepada tindakan kaotik, destruktif bahkan anarkhis seperti yang sering kita baca, kita dengar dan kita lihat melalui media massa. Di sinilah perlu adanya kecakapan para pemimpin dimana saja memimpin bahkan bagi calon pemimpin Organisasi apabila konflik dikelola dengan baik akan menjadi salah satu kunci keberhasilan bagi dirinya dan sekaligus untuk orang lain.
Memanej konflik bukan berarti harus menghindari konflik apalagi mengubur dalam-dalam yang berarti anti konflik. Namun sebaliknya memanej konflik tidak berarti harus membiarkan apalagi menumbuhsuburkan konflik. Tetapi memanej konflik di sini, kita harus cerdas dalam memahami dan cakap mengelolanya.
Memahami berarti mengetahui, menyadari bahkan mengakui dan menyetujui adanya perbedaan ( agree in disagreement ) tanpa harus saling membenci apalagi saling memusuhi. Dalam setiap komunitas apapun kita perlu membangun semangat pluralisme, yakni semangat untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan atau keragaman. Memahami dapat berarti juga memiliki sikap rela menerima perbedaan sebagai sebuah kenyataan. Wujudnya agar semua pihak yang memiliki perbedaan kepentingan harus bersedia untuk saling mendengar, dan saling memahami satu yang lainnya. Disini sangat penting membangun kecerdasan emosi bagi para pemimpin untuk mengelola sebuah Organisasi/ institusi dimanapun berada.
Alasan membangun kecerdasan emosi pada dasarnya bahwa sering terjadi kekisruhan ( konflik ) antara pemimpin dan yang dipimpin atau antara pengurus dengan anggota atau antar pengurus dan antar anggota itu sendiri.
“ Kecerdasan emosi tidak lebih dari kemampuan seseorang untuk menguasai dan mengendalikan emosi dirinya dan emosi orang lain, kecakapan mengelola diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain “ ( Daniel Goleman, 1995 )
Dengan kecerdasan ini kita akan selalu menerima orang lain apa adanya, dan bahkan dapat membantu orang lain sesuai dengan karakter yang dimilikinya.
Kecerdasan emosi setidaknya mensyaratkan adanya kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Pertama, kecakapan pribadi yaitu kemampuan seseorang untuk mengenal dan mengolah emosi dirinya sendiri. Kedua, kecakapan sosial yaitu kemampuan seseorang untuk melakukan empati dan mengelolanya dalam berhubungan dengan orang lain. Hal itu sebabnya pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi cenderung akan banyak dihargai dan dihormati, karena ia pun selalu hormat dan mau mengahargai orang lain.
Kepemimpinan seseorang yang memiliki kecerdasan emosi, akan nyaris tak terdengar punya musuh, karena ia selalu memegang kaidah : membujuk kawan sebanyak mungkin sambil mengajak lawan menjadi kawan. Itulah agenda yang perlu diperhatikan baik oleh seseorang yang telah menjadi pemimpin maupun oleh kita sebagai calon pemimpin dimana saja kita akan memimpin.
Memang tidak mudah untuk bisa mengelola konflik dengan baik, walaupun dalam sebuah organisasi/ institusi sekecil apapun karena kita dihadapkan kepada berbagai ragam karakter, berbagai ragam keinginan yang tentu dengan kepentingan yang berbeda pula.
Dengan demikian konflik sebagai salah satu kekuatan yang fungsional, melalui dialog yang dilandasi dengan semangat pluralisme, untuk menjadikan konflik sebagai salah satu kekuatan mesin penggerak sekaligus sumber perubahan dan pencerahan menuju tujuan yang dicita-citakan… Amin…
Sukaluyu, 18 Oktober 2011
Disarikan oleh :
Agung Suprianto - Kepala SDN Selajambe 03
- Penasihat Cabang PGRI Kec. Sukaluyu
- Ketua K3SD Kec. Sukaluyu
Sumber :
Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial, 2003
Millah, Saeful. Kecerdasan emosi untuk mengelola Konflik, 2011
Surya, Moh. Psikologi Pendidikan, 1987
http//: www.conflictmanagement.id.com
No comments:
Post a Comment